Jumat, 26 September 2014

Filled Under:

Kiat Mengatasi Amarah





Diriwayatkan dari Abu Hurairahbahwasanya ada seseorang berkata kepada Nabi Saw. “Berilah saya nasihat.” Kemudian beliau bersabda, “Janganlah marah.” Orang itu terus mengulang-ulang permintaannya dan beliau tetap menjawab, “Janganlah marah.” (HR. Bukhari).
Jika kita ingin menjadi orang mulia, maka kendalikanlah amarah. Kita ingin menjadi ahli surga, salah satu kuncinya adalah mengendalikan amarah. Jika kita adalah seorang pemimpin, maka janganlah kita mudah marah. Seseorang yang mudah mengumbar amarah, akan semakin jauh dari keberhasilan.
Seorang suami pemarah akan merusak suasana rumah tangganya. Istri akan merasa tertekan dan anak-anak pun akan menjadi korban. Mereka bahkan bisa depresi karena suasana yang tidak nyaman di rumahnya, tempat yang seharusnya menjadi tempat paling aman dan nyaman bagi mereka. Apalagi yang biasanya menjadi target pelampiasan kemarahan seorang suami adalah istri dan anak-anaknya. Jika seorang suami bersikap demikian, maka sesungguhnya ia sudah berbuat dhalim dalam mengemban amanah sebagai pemimpin keluarga.
Rasulullah Saw bukanlah seorang pemarah. Beliau adalah pribadi yang sangat dicintai keluarganya, sahabat-sahabatnya, dan umatnya karena keluhuran akhlaknya. Rasulullah Saw adalah pribadi yang penuh kelembutan dan kasih sayang. Hubungan beliau dengan sesama dijalin atas dasar keimanan. Setiap masalah selalu diselesaikan dengan cara-cara terbaik. Beliau mendahulukan kebijaksanaan, bukan kemarahan.
Seorang pedagang yang emosional akan ditinggalkan pembeli dan banyak rugi karena keputusan bisnis diambil dalam keadaan penuh emosi, tanpa menggunakan logika sehat. Jika demikian, saat terjadi suatu kesalahan, maka dia akan mencari kambing hitam. Dia akan menyalahkan orang lain atas kesalahan yang dilakukannya sendiri.
Seorang pemimpin yang ingin menjalin hubungan sinergis dan harmonis dengan masyarakat yang dipimpinnya, perlu memiliki kemampuan dan kemauan mengendalikan potensi amarahnya. Seorang anak yang ingin sukses dalam pendidikan dan ingin disayangi oleh kedua orang tuanya, ia pun perlu memiliki keterampilan untuk terbiasa tidak mudah mengumbar amarah.

Cara Mengendalikan Amarah
Pertama, andaipun harus marah, maka marahlah dengan cara sebagaimana yang telah dicontohkan oleh Rasulullah Saw.. Yaitu, marah yang benar, tegas dan santun. Insya Allah, marah dengan cara yang demikian akan memberikan jalan keluar terhadap permasalahan yang tengah dihadapi.
Kedua, bersikaplah tawadlu dan jangan banyak keinginan. Karena di saat kita banyak keinginan, maka akan banyak sekali kemungkinan-kemungkinan kita akan merasakan kekecewaan yang berlanjut kepada kemarahan. Yaitu, saat keinginan-keinginan kita itu tidak terpenuhi.
Bukan berarti tidak boleh memiliki keinginan. Melainkan maksudnya adalah bahwa kita harus selalu siap menghadapi segala kemungkinan. Karena tidak setiap keinginan kita akan terwujud. Semakin ingin dihargai, dihormati, dipuji, dikagumi, diberi balas budi, akan semakin sering sakit hati dan ngambek.
Ketiga, ucapkanlah, “`A’udzubillahi minasy syaithaanirrahjiim” (Aku berlindung kepada Allah, dari godaan syaitan yang terkutuk.). Karena kemarahan itu adalah bentuk hasutan syaitan.
Sulaiman Ibnu Sard RA. meriwayatkan, “Pernah dua orang yang saling mencerca satu sama lain di hadapan Rasulullah Saw.. Sementara itu, kami sedang duduk di sisi beliau. Salah seorang dari mereka menghina yang lainnya dengan diiringi kemarahan, hingga merah mukanya. Maka, Rasulullah Saw. bersabda,
“Aku mengetahui suatu kalimat yang jika diucapkan olehnya (orang yang sedang marah), maka akan hilang kemarahannya. Hendaklah dia berkata, “A’udzubillahi minasy syaithanir rajim (Aku berlindung kepada Allah dari syaitan yang terkutuk).” (HR. Bukhari Muslim)
Keempat, diamlah sejenak. Jangan bereaksi dahulu ketika amarah terasa bergejolak. Karena akhlaq itu adalah respon spontan. Sebagai contoh, saat kita keluar dari masjid dan kita mendapati sandal kita raib dari tempatnya, ada orang yang secara spontan langsung mengungkapkan kejengkelan dan kemarahannya bahkan dengan kata-kata yang tidak baik.
Lebih baik diam sejenak sembari berpikir, ah barangkali sandalnya tertukar. Atau, oh barangkali sandalnya sedang dipinjam sebentar oleh seseorang yang tidak sempat memohon izin karena mendesak dan tidak tahu siapa pemiliki sandal itu. Atau,  oh barangkali sandalnya memang hilang ber­arti tanda akan punya sandal baru. Toh, tidak mungkin jika hal kehilangan itu menyebabkan dirinya jadi tidak punya sandal seumur hidupnya.
Rasulullah Saw. bersabda, “Apabila di antara kalian marah maka diamlah.” Baginda Saw. ucapkan sebanyak tiga kali.” (HR. Ahmad)
Kelima, sesuai dengan sunnah Rasulullah Saw., apabila kita sedang dalam keadaan marah yang tidak juga bisa reda dengan sikap diam, maka apabila keadaan kita sedang berdiri, duduklah. Jika dengan duduk masih juga belum bisa reda, maka berbaringlah. Tentu saja bukan berarti harus berbaring di sembarang tempat. Maksudnya adalah, ketika amarah ma­sih belum juga reda, carilah situasi yang lebih bisa me­nenangkan dan menentramkan hati.
Rasulullah Saw. bersabda, “Jika salah seorang kalian marah dan dia dalam keadaan berdiri, maka hendaklah duduk. Jika masih belum reda marahnya, maka hendaklah berbaring.” (HR. Ahmad).
Hal ini karena marah dalam keadaan berdiri lebih besar kemungkinannya untuk melakukan keburukan dan kerusakan daripada dalam keadaan duduk. Sedangkan berbaring lebih jauh aman daripada duduk dan berdiri.
Keenam, ambillah wudhu. Air wudhu insya Allah akan menentramkan hati yang panas dibakar amarah.
Rasulullah Saw. bersabda,  “Sesungguhnya, kemarahan itu berasal dari syaitan. Dan syaitan  tercipta dari api. Dan sesungguhnya, api itu dapat dipadamkan dengan air. Jika salah seorang diantara kalian marah, maka berwudhulah.”  (HR. Ahmad dan Abu Daud).
sumber klik disini 

0 komentar:

Posting Komentar