Jumat, 27 September 2013

Tanah Parahyangan



Tanah Parahyangan atau Priangan, adalah bagian dari tanah Pasundan – Jawa Barat yang indah, subur dan bergunung-gunung. Daerahnya yang dipenuhi aliran sungai, menyebabkan tanahnya sangat cocok untuk pertanian, perkebunan dan pesawahan. Alamnya yang elok membentuk penduduknya – masyarakat Sunda mnejadi manusia yang halus, murah senyum, memiliki adat istiadat dan seni budaya yang indah serta tradisi yang luhur.
Sanjungan terhadap tanah Priangan, diungkapkan oleh seorang bangsa Belanda: R.A.W. Brouwer dengan sebuah ungkapan, bahwa Parahyangan diciptakan ketika Tuhan sedang tersenyum, sehingga ciptaan-Nya menjadi daerah yang sangat indah dan subur.
Nama Priangan pernah dijadikan nama wilayah keresidenan di Jawa Barat, disebut Keresidenan Priangan. Pada jaman pemerintah Hindia Belanda sampai tahun 1864, Cianjur pernah menjadi ibukota Keresidenan Priangan. Namun bersamaan dengan meletusnya Gunung Gede yang menggoncangkan Kota Cianjur maka ibukota Keresidenan Priangan dipindahkan ke Bandung.
Kata Priangan sangat sulit diucapkan oleh orang Belanda, sehingga bunyinya menjadi Preanger. Nama Preanger pernah dijadikan sebutan kepada para pengusaha perkebunan bangsa Belanda, printis perkebunan teh di tanah Parahyangan dengan sebutan Preanger Planters.
Nama Parahyangan berasal dari kata “rahiang” berarti raja yang telah wafat, dan “ira” dalam bahasa Kawi merupakan awalan atau kata untuk menghormat (Preafik hiniruc). Kombinasi rangkaian “pa” dan “an” menunjukan barang atau tempat yang banyak. Maka betapa nyaman dan indahnya Parahyangan sehingga dipakai sebagai tempat dan hunian para Hyang.
Sehubungan dengan tanah Parahyangan yang indah, subur, penuh dengan aliran sungai, maka sangat bagus dan cocok untuk tanaman perkebunan. Diantaranya adalah perkebunan teh (Camelia Sinensis) yang sampai sekarang menjadi ikon dan kebanggan Jawa Barat.

Lagenda Sangkuriang


Sangkuriang adalah legenda yang berasal dari Tatar Sunda. Legenda tersebut berkisah tentang terciptanya danau Bandung, Gunung Tangkuban Parahu, Gunung Burangrang, dan Gunung Bukit Tunggul.
Dari legenda tersebut, kita dapat menentukan sudah berapa lama orang Sunda hidup di dataran tinggi Bandung. Dari legenda tersebut yang didukung dengan fakta geologi, diperkirakan bahwa orang Sunda telah hidup di dataran ini sejak beribu tahun sebelum Masehi.
Legenda Sangkuriang awalnya merupakan tradisi lisan. Rujukan tertulis mengenai legenda ini ada pada naskah Bujangga Manik yang ditulis pada daun palem yang berasal dari akhir abad ke-15 atau awal abad ke-16 Masehi. Dalam naskha tersebut ditulis bahwa Pangeran Jaya Pakuan alias Pangeran Bujangga Manik atau Ameng Layaran mengunjungi tempat-tempat suci agama Hindu di pulau Jawa dan pulau Bali pada akhir abad ke-15.
Setelah melakukan perjalanan panjang, Bujangga Manik tiba di tempat yang sekarang menjadi kota Bandung. Dia menjadi saksi mata yang pertama kali menuliskan nama tempalegendanya.
Laporannya adalah sebagai berikut:
Leumpang aing ka baratkeun (Aku berjalan ke arah barat)
Datang ka Bukit Patenggeng (kemudian datang ke Gunung Patenggeng)
Sakakala Sang Kuriang (tempat legenda Sang Kuriang)
Masa dek nyitu Ci tarum (Waktu akan membendung Citarum)
Burung tembey kasiangan (tapi gagal karena kesiangan)

Ringkasan cerita
Diceritakan bahwa Raja Sungging Perbangkara pergi berburu. Di tengah hutan Sang Raja membuang air seni yang tertampung dalam daun caring (keladi hutan). Seekor babi hutan betina bernama Wayung yang tengah bertapa ingin menjadi manusia meminum air seni tadi. Wayungyang hamil dan melahirkan seorang bayi cantik. Bayi cantik itu dibawa ke keraton oleh ayahnya dan diberi nama Dayang Sumbi alias Rarasati. Banyak para raja yang meminangnya, tetapi seorang pun tidak ada yang diterima.
Akhirnya para raja saling berperang di antara sesamanya. Dayang Sumbi pun atas permitaannya sendiri mengasingkan diri di sebuah bukit ditemani seekor anjing jantan yaitu Si Tumang. Ketika sedang asyik bertenun, toropong (torak) yang tengah digunakan bertenun kain terjatuh ke bawah. Dayang Sumbi karena merasa malas, terlontar ucapan tanpa dipikir dulu, dia berjanji siapa pun yang mengambilkan torak yang terjatuh bila berjenis kelamin laki-laki, akan dijadikan suaminya. Si Tumang mengambilkan torak dan diberikan kepada Dayang Sumbi. Dayang Sumbi akhirnya melahirkan bayi laki-laki diberi nama Sangkuriang.
Ketika Sangkuriang berburu di dalam hutan disuruhnya si Tumang untuk mengejar babi betina Wayungyang. Karena si Tumang tidak menurut, lalu dibunuhnya. Hati si Tumang oleh Sangkuriang diberikan kepada Dayang Sumbi, lalu dimasak dan dimakannya. Setelah Dayang Sumbi mengetahui bahwa yang dimakannya adalah hati si Tumang, kemarahannya pun memuncak serta merta kepala Sangkuriang dipukul dengan senduk yang terbuat dari tempurung kelapa sehingga luka.
Sangkuriang pergi mengembara mengelilingi dunia. Setelah sekian lama berjalan ke arah timur akhirnya sampailah di arah barat lagi dan tanpa sadar telah tiba kembali di tempat Dayang Sumbi, tempat ibunya berada. Sangkuriang tidak mengenal bahwa putri cantik yang ditemukannya adalah Dayang Sumbi – ibunya. Terminological kisah kasih di antara kedua insan itu. Tanpa sengaja Dayang Sumbi mengetahui bahwa Sangkuriang adalah puteranya, dengan tanda luka di kepalanya. Walau demikian Sangkuriang tetap memaksa untuk menikahinya. Dayang Sumbi meminta agar Sangkuriang membuatkan perahu dan telaga (danau) dalam waktu semalam dengan membendung sungai Citarum. Sangkuriang menyanggupinya.
Maka dibuatlah perahu dari sebuah pohon yang tumbuh di arah timur, tunggul/pokok pohon itu berubah menjadi gunung ukit Tanggul. Rantingnya ditumpukkan di sebelah barat dan menjadi Gunung Burangrang. Dengan bantuan para guriang, bendungan pun hampir selesai dikerjakan. Tetapi Dayang Sumbi bermohon kepada Sang Hyang Tunggal agar maksud Sangkuriang tidak terwujud. Dayang Sumbi menebarkan irisan boeh rarang (kain putih hasil tenunannya), ketika itu pula fajar pun merekah di ufuk timur. Sangkuriang menjadi gusar, dipuncak kemarahannya, bendungan yang berada di Sanghyang Tikoro dijebolnya, sumbat aliran sungai Citarum dilemparkannya ke arah timur dan menjelma menjadi Gunung Manglayang. Air Talaga Bandung pun menjadi surut kembali. Perahu yang dikerjakan dengan bersusah payah ditendangnya ke arah utara dan berubah wujud menjadi Gunung Tangkuban Perahu.
Sangkuriang terus mengejar Dayang Sumbi yang mendadak menghilang di Gunung Putri dan berubah menjadi setangkai bunga jaksi. Adapun Sangkuriang setelah sampai di sebuah tempat yang disebut dengan Ujung berung akhirnya menghilang ke alam gaib (ngahiyang).
Kesesuaian dengan fakta geologi
Legenda Sangkuriang sesuai dengan fakta geologi terciptanya Danau Bandung dan Gunung Tangkuban Parahu.
Penelitian geologis mutakhir menunjukkan bahwa sisa-sisa danau purba sudah berumur 125 ribu tahun. Danau tersebut mengering 16.000 tahun yang lalu.
Telah terjadi dua letusan Gunung Sunda purba dengan tipe letusan Plinian masing-masing 105.000 dan 55.000-50.000 tahun yang lalu. Letusan plinian kedua telah meruntuhkan kaldera Gunung Sunda purba sehingga menciptakan Gunung Tangkuban Parahu, Gunung Burangrang (disebut juga Gunung Sunda), dan Gunung Bukittunggul.
Adalah sangat mungkin bahwa orang Sunda purba telah menempati dataran tinggi Bandung dan menyaksikan letusan Plinian kedua yang menyapu pemukiman sebelah barat Ci Tarum (utara dan barat laut Bandung) selama periode letusan pada 55.000-50.000 tahun yang lalu saat Gunung Tangkuban Parahu tercipta dari sisa-sisa Gunung Sunda purba. Masa ini adalah masanya Homo sapiens; mereka telah teridentifikasi hidup di Australia selatan pada 62.000 tahun yang lalu, semasa dengan Manusia Jawa (Wajak) sekitar 50.000 tahun yang lalu.
Sangkuriang dan Falsafah Sunda
Menurut Hidayat Suryalaga, legenda atau sasakala Sangkuriang dimaksudkan sebagai cahaya pencerahan (Sungging Perbangkara) bagi siapa pun manusianya (tumbuhan cariang) yang masih bimbang akan keberadaan dirinya dan berkeinginan menemukan jatidiri kemanusiannya (Wayungyang). Hasil yang diperoleh dari pencariannya ini akan melahirkan kata hati (nurani) sebagai kebenaran sejati (Dayang Sumbi, Rarasati). Tetapi bila tidak disertai dengan kehati-hatian dan kesadaran penuh/eling (teropong), maka dirinya akan dikuasai dan digagahi oleh rasa kebimbangan yang terus menerus (digagahi si Tumang) yang akan melahirkan ego-ego yang egoistis, yaitu jiwa yang belum tercerahkan (Sangkuriang). Ketika Sang Nurani termakan lagi oleh kewaswasan (Dayang Sumbi memakan hati si Tumang) maka hilanglah kesadaran yang hakiki. Rasa menyesal yang dialami Sang Nurani dilampiaskan dengan dipukulnya kesombongan rasio Sang Ego (kepala Sangkuriang dipukul). Kesombongannya pula yang memengaruhi “Sang Ego Rasio” untuk menjauhi dan meninggalkan Sang Nurani. Ternyata keangkuhan Sang Ego Rasio yang berlelah-lelah mencari ilmu (kecerdasan intelektual) selama pengembaraannya di dunia (menuju ke arah Timur). Pada akhirnya kembali ke barat yang secara sadar maupun tidak sadar selalu dicari dan dirindukannya yaitu Sang Nurani (Pertemuan Sangkuriang dengan Dayang Sumbi).
Walau demikian ternyata penyatuan antara Sang Ego Rasio (Sangkuriang) dengan Sang Nurani yang tercerahkan (Dayang Sumbi), tidak semudah yang diperkirakan. Berbekal ilmu pengetahuan yang telah dikuasainya Sang Ego Rasio (Sangkuriang) harus mampu membuat suatu kehidupan sosial yang dilandasi kasih sayang, interdependency – silih asih-asah dan silih asuh yang humanis harmonis, yaitu satu telaga kehidupan sosial (membuat Talaga Bandung) yang dihuni berbagai kumpulan manusia dengan bermacam ragam perangainya (Citarum). Sementara itu keutuhan jatidirinya pun harus dibentuk pula oleh Sang Ego Rasio sendiri (pembuatan perahu). Keberadaan Sang Ego Rasio itu pun tidak terlepas dari sejarah dirinya, ada pokok yang menjadi asal muasalnya (Bukit Tunggul, pohon sajaratun) sejak dari awal keberada-annya (timur, tempat awal terbit kehidupan). Sang Ego Rasio pun harus pula menunjukkan keberadaan dirinya (tutunggul, penada diri) dan pada akhirnya dia pun akan mempunyai keturunan yang terwujud dalam masyarakat yang akan datangd dan suatu waktu semuanya berakhir ditelan masa menjadi setumpuk tulang-belulang (gunung Burangrang).
Betapa mengenaskan, bila ternyata harapan untuk bersatunya Sang Ego Rasio dengan Sang Nurani yang tercerahkan (hampir terjadi perkawinan Sangkuriang dengan Dayang Sumbi), gagal karena keburu hadir sang titik akhir, akhir hayat dikandung badan (boeh rarang atau kain kafan). Akhirnya suratan takdir yang menimpa Sang Ego Rasio hanyalah rasa menyesal yang teramat sangat dan marah kepada “dirinya”. Maka ditendangnya keegoisan rasio dirinya, jadilah seonggok manusia transendental tertelungkup meratapi kemalangan yang menimpa dirinya (Gunung Tangkubanparahu).
Walau demikian lantaran sang Ego Rasio masih merasa penasaran, dikejarnya terus Sang Nurani yang tercerahkan dambaan dirinya (Dayang Sumbi) dengan harapan dapat luluh bersatu antara Sang Ego Rasio dengan Sang Nurani. Tetapi ternyata Sang Nurani yang tercerahkan hanya menampakkan diri menjadi saksi atas perilaku yang pernah terjadi dan dialami Sang Ego Rasio (bunga Jaksi).
Akhir kisah yaitu ketika datangnya kesadaran berakhirnya kepongahan rasionya (Ujungberung). Dengan kesadarannya pula, dicabut dan dilemparkannya sumbat dominasi keangkuhan rasio (gunung Manglayang). Maka kini terbukalah saluran proses berkomunikasi yang santun dengan siapa pun (Sanghyang Tikoro atau tenggorokan; bahasa Sunda: Hade ku omong goreng ku omong). Dan dengan cermat dijaga benar makanan yang masuk ke dalam mulutnya agar selalu yang halal bersih dan bermanfaat.(Sumber : Wikipedia )
Referensi
1. Koesoemadinata, R. P., “Asal Usul dan Prasejarah Ki Sunda”, Sub theme” “Bidang Kajian Sejarah, Arkeologi dan filologi”, in Ajip Rosidi et.al (editor: Edi S.Ekadjati and A.Chaedar Alwasilah)
2. Hidayat Suryalaga, Kajian Hermeneutika terhadap Legenda dan Mitos Gunung Tangkubanparahu dengan segala aspeknya, Hidayat Suryalaga, Orasi Ilmiah ketika Hari Wisuda Mahasiswa ITENAS, Bandung, 28 Mei 2005

sumber : Salakanagara

Sampurasunn... Blogger

Sampurasun dulur…!



Kumaha damang, asa waas yeuh mun teu acan nyerat dina ieu blog. Simkuring médalkeun ieu blog mangrupakeun bentuk pikeun nyalurkeun catétan kuring ngeunaan kasunda jeung naon bae nu bisa ditulis.  Hapunten anu kasuhun, saupami aya sératan atanapi hal-hal nu séjen nu teu raos, nu nyeletit ati atawa teu kedah di aos. Mugia ieu blog tiasa janten mangpaat ririungan dina ngabagi elmu. Naun waé nu aya dina ieu kaca mangga tiasa di pasihan komentar nu sipétna ngabangun. Dulur… hayu atuh urang nonoman Sunda prak geura hudang rempug jukung sauyunan, prak geuwat gérak pikeun ngalestarikeun ieu jungjunan urang seni budaya jeung bahasa Sunda. Lian ti éta blog ieu dikhususkeun nganggé 3 basa, nu paling utami nya éta Basa Sunda, Basa Indonesia tuluy Basa Inggris. Prak dulur sadaya tiasa ngiring aub / ngarojong ngintunkeun sératana didieu. Ngeunaan naon wae nu sipatna positip tur ngawangun. Hayu geuwat… hudang geura mibandang, tandang makalangan, bajoang meunang ! caag… 

blog kuring  nu sejen : Pangirutan

Minggu, 22 September 2013

Masjid Agung Garut Dari Masa Ke Masa




Masjid Agung Garut menjadi simbol religius Garut. Berdiri kokoh dan megah di Barat alun-alun Garut. Suasananya membuat orang betah dan nyaman. Dari sini kita bisa melihat aktifitas masyarakat di alun-alun Garut.
Sudah menjadi ciri khas bahwa Kota Garut berada didaerah cekungan (seperti wajan) yang dikelilingi Gunung-gunung menjulang. Seperti Gunung Cikuray, Gunung Guntur, Gunung Talagabodas dan Gunung Papandayan. Sehingga jika dilihat dengan seksama Masjid Agung Garut seakan tepat berada di tengah-tengah Tatar Garut Pangirutan. Dari berbagai sudut strategis Mesjid ini akan selalu terlihat dengan megah dan khas. Sungguh pemandangan alam Priangan yang harmonis.

Jika datang ke Garut, tidak akan lengkap rasanya jika tidak datang ke Mesjid ini untuk beribadah ataupun menikmati suasananya. Menurut catat sejarah, bentuk bangunan Masjid Agung sekarang bukanlah bentuk asli pertama kali, melainkan telah mengalami beberapa renovasi.

Pertama pada 1979 bentuk atap tajug tumpang tiga (bale nyungcung) dirubah dengan kubah berplat beton bertulang. Bentuk kubah ini kembali diubah pada 1981 menjadi bentuk kupiah dengan atap seng bergelombang. Dan renovasi total dilakukan pada 1994, dengan mengacu pada bentuk Mesjid Timur Tengah. Ditahun itu juga terjadi perubahan arah kiblat. Melibatkan para ahli geodesi dari ITB dan menggunakan GPS (Global Postoning System). Sehingga nampaklah bentuk Masjid Agung Garut sekarang. Dengan empat menara dan kubah ditengahnya, menempati lahan seluas 4.480m2.
Jika menyimak lebih jauh sejarahnya, dulu didepan mesjid terdapat sebuah jalan yang membatasi dengan alun-alun Garut. Jalan itu bernama Jalan Alun-alun Barat. Kini jalan tersebut sudah hilang dan digabungkan bersama halaman mesjid Agung Garut.

Di Priangan Timur mesjid Agung Garut merupakan salah satu yang tertua, didirikan sekitar tahun 1809 atau jauh sebelumnya. Hal itu berdasarkan bukti nisan kuburan disamping mesjid bertuliskan angka tahun 1809. Ini merupakan sebuah tradisi jaman baheula bahwa kuburan biasanya dekat dengan mesjid. Kemudian prosesi pembangunan infrastruktur Kota Garut baru dilakukan pada tahun 1813. | kakarut.com

Foto : Segala Sumber